Rabu, 07 Juli 2010

drama paskah

Suatu Saat Menjelang Paskah
Anton!!!” panggil Astrid. Yang dipanggil hanya tersenyum merasa tidak bersalah.
“Kemana aja sih kamu kemarin ?” tanya Astrid. “Semua orang mencari kamu. HP kamu juga kamu matikan.” Anton hanya cuek membaca buku bacaannya. Astrid jadi gemes melihat kelakuan cowoknya ini.
“Anton!” panggil Astrid kembali.
“Ya ?”
“Kemana kamu kemarin ? Kamu kan harusnya latihan drama untuk perayaan Paskah di gereja ?” Astrid meminta penjelasan Anton. “Kenapa kamu nggak datang ?”
“Lho aku kan sudah katakan, kalau aku belum tentu bisa hadir.” jelas Anton.
“Anton, kamu nggak bisa seenaknya begitu dong. Aku yang malu, tahu.”
“Kenapa malu?” tanya Anton bego. Astrid jadi jengkel juga melihat kebegoan Anton itu pengen rasanya dia jitak kepala cowok didepannya ini.
“Tentu aku malu, semua teman bertanya mana Anton, mengapa tidak datang. Sedang aku ceweknya nggak tahu cowoknya kemana.”
Anton tertawa mengakak mendengar keluhan Astrid.
“Nggak lucu.”
“Memang aku bukan pelawak kok.”
Wajah Astrid cemberut. Sebel deh ngelihat cowok satu ini. Kemarin wajahnya sampai memanas ketika teman-teman bertanya kemana Anton. Apalagi ketika pastor Jon juga sempat menanyakan, entah mau diletakkan dimana wajah Astrid.
“Anton, kamu ikut drama Perayaan Paskah kan bukan untuk main-main. Serius sedikit dong.”
“Aku kan sudah katakan sebelumnya bahwa aku nggak pasti.”
“Lho tapi kamu kan sudah mengatakan bersedia untuk melayani dalam drama Perayaan Paskah tahun ini.”
“Aku kan cuma mengatakan kalau nggak ada orang yang bisa memerankan Yesus, aku bersedia. Tetapi kamu belom mencari orang lain sudah menunjuk diriku”
“Aduh Anton, Anton please jangan begitu dong.” rengek Astrid.
“Maksudmu jangan begitu?”
Gemes banget deh kalau mendengar perkataan cowoknya ini cuwek n’ bego. Kalau dilanjutkan rasanya ‘makan hati’.
“Astrid……” panggil Anton.
“Lho kok diam As. Marah ya ?”
Bukan marah lagi, tensi darah Astrid mungkin sudah kelewat batas maksimum. Kalau ada guling disitu kepala Anton pasti jadi sasaran gebuk Astrid. Udah tahu marah, masih nanya lagi. Sebelin!
“As, besok jadi latihan drama lagi ?” tanya Anton mengalihkan pembicaraan. Astrid yang masih marahan, jadi diem aja. Tanpa menjawab pertanyaan Anton. Biar tahu rasa, demikian pikir Astrid.
“Wah, aku ada kelas nih As. Aku pergi dulu ya. Sampai besok.” Anton pun berdiri sambil membenahi buku-bukunya yang berserakan di meja kantin.
“Anton!” panggil Astrid.
“Kamu kok begitu sih.” seru Astrid dengan nada putus asa.
“Begitu bagaimana sih maksudmu ?” tanya Anton.
“Aku dicuekin.”
“Lho dicuekin gihmana toh Non. Aku kan tadi sudah ngajak kamu ngobrol. Kamunya diem aja.”
“Jadi besok kamu datang latihan kan ?” tanya Astrid memastikan.
“Aku usahakan.” jawab Anton santai.
“Aduh Anton, jangan begitu dong jawabnya.”
“Lho, jawabanku benar kan? Masa aku dapat memastikan bahwa besok aku akan pasti datang ke latihan. Inget tuh apa kata Alkitab, ‘kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok’.”
“Udah, kamu jangan sok mengutip ayat Alkitab hanya untuk membela dirimu.” bantah Astrid. Kalau sudah begini Astrid jadi galak, maka tidak heran dia diberi tugas untuk membuat drama Perayaan Paskah tahun ini.
“Anton, kamu masih sayang nggak sih sama aku ?” Lho, kok Astrid tiba-tiba membuat pertanyaan yang diluar dugaan.
“Lho? Kenapa kamu bertanya demikian?” Anton membalas bertanya.
“Kamu jangan balas tanya dong. Jawab dulu pertanyaanku.” sahut Astrid gondok.
“Pertanyaan kamu kok aneh sih? Kalau masih sayang kenapa ?” Anton kembali bertanya dengan tidak mau kalah. Tidak heran tubuh Astrid yang kurus tidak bakalan menjadi gemuk karena kalau bicara dengan Anton, dia selalu nggak pernah menang.
“Kalau orang masih sayang kan harus memperhatikan orang yang disayangi.” jawab Astrid. “Kalau kamu masih sayang aku, tentu kamu mau membantu aku.”
Anton masih bengong menebak kemana arah pembicaraan Astrid itu.
“Jadi besok tolong bantu aku, pastikan kamu datang latihan. Besok latihan terakhir. Aku tahu kamu berbakat untuk bermain drama, tetapi sebagai orang Kristen kamu harus tanggung jawab dan memberi contoh pada yang lain.”
“Ok. Ok. Aku akan datang. Aku usahakan semaksimal mungkin untuk datang.” sahut Anton memotong pembicaraan Astrid, yang kalau tidak dipotong mungkin Astrid bisa berkotbah di depan kantin.
***
Sabtu siang, arah jarum jam di dinding gereja telah menunjukkan ke angka lima. Padahal latihan drama dimulai jam dua. Tiga jam Astrid mengharap kedatangan Anton, ternyata kekuatirannya terjadi. Sampai jam lima, Anton masih belum kelihatan batang hidungnya. Anton memang keterlaluan, Astrid sendiri tidak tahu dimana Anton berada sekarang. HP-nya dimatikan. Kalau Astrid sendirian di ruang kebaktian ini tentu ia sudah menangis. Kesal banget rasanya.
Astrid sudah menelpon ke rumah Anton. Mama Anton mengatakan bahwa Anton dari tadi siang sudah keluar rumah. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hati Astrid. Entah bagaimana ia akan menjawab pertanyaan pastor Jon, kenapa Anton tidak datang latihan terakhir.
Tiba-tiba telepon disamping Astrid berdering mengagetkan dirinya.
“Halo Astrid….” Astrid segera mengenali, itu suara Anton. Rasa kesal Astrid kembali memuncak.
“Halo…….” panggil Anton kembali. Astrid hanya diam saja. Tetapi pikirannya mengatakan dia harus membicarakan hal ini dengan Anton.
“Anton ?”
“Astrid, sorry aku nggak bisa datang latihan drama.” Astrid sudah menduga Anton pasti berkata demikian dan pasti ditambah dengan alasan yang lain tentunya.
“Kenapa?” tanya Astrid dingin. Setelah Anton menjawab dengan alasannya, Astrid pengennya memuntahkan semua peluru kekesalannya.
“Aku mengalami kecelakaan.” kata Anton.
Deg! Hati Astrid tercekat!
“Halo…..halo Astrid.” panggil Anton.
“Ya ampun! Apa yang terjadi Anton?”
“Aku tadinya mau datang ke latihan drama, tetapi mobilku ditabrak mobil orang lain.”
“Aduh, kasihan banget. Tapi kamu nggak kenapa-napa kan?” tanya Astrid prihatin. Lupa semua kekesalannya pada Anton.
“Puji Tuhan, nggak kenapa. Cuma jidatku yang kebentur setir mobil. Aku sekarang berada di rumah sakit. Sedang menunggu dokter untuk mengijinkan aku pulang.”
“Aku segera akan kesana ya.” sahut Astrid cepat. Ah ternyata Anton masih sayang Astrid kok. Buktinya Anton mau pergi ke latihan drama. Sekarang dia hanya ingin melihat Anton tidak kekurangan sesuatu apa pun.
Memilih Salib
Submitted by Abemoms on Fri, 02/20/2009 - 01:58.
PEMAIN
1. Seseorang (Penjual Salib)
2. Pria
3. Pemuda
4. Manajer
5. Si Kaya
NASKAH
Panggung dalam keadaan kosong, tanpa dekor apa pun. Terdengar suara
hiruk-pikuk seperti di jalan ramai.
Seorang lelaki setengah baya muncul dari kanan panggung sambil
membawa sebuah tas perjalanan dan beberapa buah salib dengan
berbagai ukuran, besar sekali, besar, sedang, dan kecil.
Seseorang:
----------
"Aaaah ... lelah sekali rasanya, setelah menempuh perjalanan yang
jauh. Saudara-saudara, bolehkah saya numpang beristirahat sejenak di
sini? Saya berasal dari negeri yang jauh, sepanjang perjalanan, saya
telah menawarkan salib. Banyak orang telah mengambilnya, dari ukuran
yang besar sampai yang kecil dengan berbagai alasan. Tentu saja yang
kecil yang paling laris, saya tidak tahu mengapa begitu. Dan
anehnya, yang paling besar ini, sampai sekarang belum ada
peminatnya. Barangkali di antara Saudara ada yang berminat? Ayo,
salib, salib. Siapa yang mau, silakan datang dan pilih sendiri. Ayo,
tidak usah bayar alias gratis!
Nah, itu ada seseorang sedang menuju ke mari, coba saya tawarkan
dia. Selamat pagi, Pak. Maukah Bapak mampir sejenak untuk memilih
sebuah salib?"
Pria:
-----
"Maaf. Saya sedang terburu-buru, saya tidak mempunyai cukup waktu
untuk urusan seperti ini, lain kali saja. Ngemis kok di sembarang
tempat, huh!" [Sambil beranjak pergi.]
Seseorang:
----------
"Sungguh kasihan. Ia tidak tahu, betapa pentingnya salib bagi
hidupnya. Apakah tidak ada seseorang yang pernah memberitahukannya?"
Pemuda:
-------
"Permisi! Bolehkah saya meminta sebuah salib, Pak?"
Seseorang:
----------
"Oh, tentu saja, tentu saja boleh!"
[Kepada Penonton] "Ini baru kejutan! Belum ditawari, sudah meminta!"
"Ayo, silakan Dik, pilih mana yang kau suka! Gratis, lho ..."
Pemuda:
-------
"Gratis?"
[Seseorang menganggukkan kepalanya, Pemuda memilih-milih salib, lalu
mengambil salib terbesar kedua.]
"Ah, kukira yang ini cocok untukku!"
Seseorang:
----------
"Mengapa begitu?"
Pemuda:
-------
"Pertama-tama, tentu saja karena gratis, maka kupilih yang cukup
besar. Kedua, aku masih muda, masih mampu memikul salib yang besar.
Lagipula, sangat membanggakan rasanya, di mana-mana orang dapat
melihat salib yang kubawa. Yah, aku pilih yang ini saja!"
Seseorang:
----------
"Tunggu dulu! Kalau begitu, mengapa tidak kaupilih yang paling besar
saja?"
Pemuda:
-------
"Waaah .... Kalau yang itu terlalu berat untukku. Lagipula, kayunya
kasar dan tampak buruk lagi! Ah, sudahlah, aku pilih yang ini saja.
Boleh kan?"
Seseorang:
----------
"Oh, boleh, boleh ... Sangaaat ... boleh! Silakan kau ambil yang itu
saja!"
Pemuda:
-------
"Terima kasih!" [Berlalu sambil membawa salibnya.]
Seseorang:
----------
"Haaaahh ..." [Menarik napas panjang.]
"Di mana-mana anak muda selalu sama, semangat tinggi, ingin selalu
menonjol, tapi ... takut, kalau diberi tanggung jawab yang lebih
besar. Haaaaahhh ..."
Manajer:
--------
[Masuk dari kiri panggung, berdasi, membawa tas kantor, seorang
eksekutif muda] "Lho, kok pagi-pagi sudah mengeluh panjang pendek,
ada apa ini?"
Seseorang:
----------
"Oh, tidak, tidak, saya sedang latihan ilmu pernapasan! Apakah
Saudara juga berminat dengan salib-salib ini?"
Manajer:
--------
"Salib? Wah, kebetulan sekali. Saya memang sedang mencari-cari salib
yang cocok untuk saya."
Seseorang:
----------
"Maksud Saudara?"
Manajer:
--------
"Begini! Sebagai seseorang yang sedang memperoleh karir yang baik,
saya membutuhkan sebuah salib yang cocok yang dapat mewakili
keberadaan saya."
Seseorang:
----------
[Menunjuk pada salib yang paling besar.] "Kalau begitu, salib yang
besar itu pasti cocok untuk menjadi simbol kehebatan Saudara!
Bukankah begitu?"
Manajer:
--------
"Oh, bukan, bukan itu maksud saya!"
Seseorang:
----------
"Lalu, bagaimana maksud Saudara yang sebenarnya? Coba katakan!"
Manajer:
--------
"Bukan maksud saya untuk memilih sebuah salib besar yang dapat
melambangkan kehebatan saya! Bukan, sama sekali, bukan!"
Seseorang:
----------
"Lantas, bagaimana?"
Manajer:
--------
"Justru, sebaliknya. Saya menginginkan sebuah salib yang fleksibel.
Yang mudah diajak menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi saya.
Jadi, sebuah salib yang sedang besarnya dan cantik penampilannya."
Seseorang:
----------
"Yang sedang besarnya, banyak, yang cantik penampilannya, banyak,
yang bisa dua-duanya yah cuma ini!" [Menunjuk salib yang sedang.]
Manajer:
--------
[Mengambil dengan antusias.] "Ini yang gue cari ...!"
Seseorang:
----------
"Huss! Seperti iklan saja!"
Manajer:
--------
"Oh iya, lupa! Oke, saya ambil salib yang ini saja! Cantik
penampilannya, besarnya pun sedang. Mudah terlihat pada saat
diperlukan, sesuai dengan jabatan dan kedudukan saya, mudah pula
disembunyikan bilamana membahayakan karir saya. [Membuka tas dan
memasukkan salib.]
Seseorang:
----------
"Oooh ... begitu ...." [Mengangguk-anggukkan kepala] "Pintar sekali
Saudara ini!"
Manajer:
--------
"Yaah ... bukankah Tuhan mengatakan bahwa kita harus cerdik seperti
ular, ya itulah yang kulakukan!"
Seseorang:
----------
"Oooh ...." [Sambil terus mengangguk-anggukkan kepala.]
Manager:
--------
"Oke, terima kasih, Pak untuk salibnya ini. Permisi."
Seseorang:
----------
[Seperti tersentak dari lamunan.] "O, ya ... ya ... ya ... silakan,
silakan."
[Manajer berlalu.]
Seseorang:
----------
[Menggumam sendiri.] "Cerdik ... se ... per ... ti ... u ... lar,
cerdik seperti ular, cerdik sep ... [Membuka-buka kitab yang
dibawanya.] Ah, ini dia ... cerdik seperti ular dan tulus seperti
merpati. Hei, hei, hei ...! Merpatinya ma ... na ...!"
Si Kaya:
--------
[Berdasi, memakai setelan jas, dan segala atribut yang menunjukkan
kekayaannya, masuk langsung menghampiri Seseorang.] "Saya dengar
Saudara mempunyai koleksi berbagai macam salib."
Seseorang:
----------
"Betul, Pak ... betul!" [Dengan sikap hormat.]
Si Kaya:
--------
"Tolong carikan sebuah yang pas untuk saya. Berapa pun akan saya
bayar." [Mengeluarkan seikat uang kertas.]
Seseorang:
----------
"Tidak, tidak perlu! Bapak tidak perlu membayar sepeser pun. Salib
ini diberikan dengan cuma-cuma, asal saja Bapak mau memilikinya!"
Si Kaya:
--------
"Kalau begitu, ambil saja uang itu untukmu. Terserah mau kamu
apakan!"
Seseorang:
----------
"Terima kasih, Pak, terima kasih. Bapak seorang yang sangat
dermawan. Nanti uangnya akan saya berikan kepada mereka yang
membutuhkannya. Sekali lagi terima kasih, Pak!"
Si Kaya:
--------
"Tidak apa-apa. Ayo, mana salibnya?"
Seseorang:
----------
"Saya kira ... [Memandang sejenak ke Si Kaya, lalu ke arah salib,
beberapa kali.] Ah, yang ini ... [Mengambil salib paling besar.]
Sangat cocok untuk Bapak!"
Si Kaya:
--------
"Apa?! [Terkejut.] Sebesar dan seburuk itu? Tidak, tidak, jangan
paksa aku untuk memikul salib sebesar dan seburuk itu! Aku tidak
akan sanggup!"
Seseorang:
----------
"Silakan bapak pilih sendiri, salib yang bapak suka."
Si Kaya:
--------
[Melihat-lihat dan menimbang-nimbang salib yang ada.] "Nah, yang ini
saja!" [Mengambil salib yang paling kecil dengan gembira.]
Seseorang:
----------
"Sekecil itu?"
Si Kaya:
--------
"Yah, aku kira yang ini paling cocok untukku, kecil dan praktis.
Untuk seorang businessman seperti aku yang selalu sibuk, tidak akan
cukup waktuku jika harus memilih salib yang besar-besar."
Seseorang:
----------
"O,ya? Begitukah?"
Si Kaya:
--------
"Ya, salib yang besar kan cocoknya untuk mereka yang masih muda dan
punya banyak waktu. Kalau bagiku, hanya bikin repot saja. Enak yang
seperti ini (Memperlihatkan salib yang kecil) "Cilik yo ...!" Ah,
maaf saya tidak punya lebih banyak waktu lagi, saya harus segera
berangkat ke luar negeri. Sampai jumpa. [Keluar.]
Seseorang:
----------
"Benarkan Saudara-saudara. Seperti yang saya katakan pada awal saya
baru tiba tadi. Ternyata di sini pun tidak ada yang berminat dengan
salib yang besar dan buruk itu. Lalu ke mana lagi saya harus
menawarkannya? Saya sudah lelah, terus memikulnya kian kemari.
Haruskah saya terus memikulnya sendirian? Atau begini saja, salib
ini saya titipkan saja di sini, barangkali saja suatu hari nanti ada
yang berminat. Atau, barangkali di antara saudara-saudara ada yang
ingin memikulnya? Maaf, saya harus berangkat lagi. Terima kasih,
telah memperbolehkan saya beristirahat sejenak di sini. Permisi!
Sampai jumpa! Seseorang berjalan keluar diiringi musik yang meriah.
Disusul suara hiruk-pikuk seperti di jalan raya. Selesai!"
- Salib Kristus adalah sebuah beban, sama seperti jangkar pada
perahu atau sepasang sayap pada burung. - Samuel Rutherford -
- Tidak ada penerima mahkota di sorga yang bukan seorang pemikul
salib di dunia. - Charles Haddon Spurgeon -
- Pelayanan tanpa pengorbanan tidak akan menghasilkan apa-apa.
- John Henry Jowett -
Bahan diambil dari sumber:
Di Taman Getsemani
Karakter yang diperankan:
- Narator
- Yesus
- Dua orang sebagai Tikus.
Perlengkapan:
Lonceng untuk memberi tanda dimulai dan berakhirnya drama.
Teks Drama:
Narator : "Halo, adakah di antara kalian yang mengingat pertunjukan drama yang lalu dimana kita bersama-sama Yesus ada di ruang paling atas sebuah rumah? Hari ini kita akan pergi ke sebuah tempat yang sunyi -- Taman Getsemani. Seperti minggu lalu kami akan minta kalian, anak-anak dan dua ekor tikus menolong kami dalam pertunjukan drama ini."
[Dua pemeran tikus naik ke sudut panggung dan berdiri di depan mikrophone]
Tikus (1): "Aku kok tidak senang ya berada di taman. Lebih hangat dan lebih nyaman saat kita berada di ruang atas rumah itu."
Tikus (2): "Ohhh ... kamu ingin bilang kita seharusnya tidak berada di sini? Lho bukannya ini idemu mengikuti Yesus sampai ke taman ini?"
Tikus (1): "Iya memang. Tapi aku kan hanya ingin tahu tentang rencana rahasia yang Yesus bicarakan dengan para murid- Nya di ruang atas itu."
Tikus (2): "Ssssttt! Diam ... itu mereka datang!"
Narator : "Selamat datang! Permainan kali ini membawa kita ke sebuah taman, dan kami membutuhkan kalian untuk membuat suasana di taman ini hidup. Saya mau kalian membentuk 4 kelompok. Setiap orang pergi ke taman, pasti kalian sering menggunakan hidung untuk menghirup berbagai aroma dalam taman tersebut. Tapi kali ini, selain aroma dalam taman, ada juga suara-suara. Sebagai contoh (tunjuk kelompok 1), mereka adalah sekelompok pohon Zaitun. Kira- kira bagaimana keadaan dan suara pohon Zaitun saat angin menggoyangkan mereka? [Peragakan dengan menggoyang- goyangkan badan Anda dan keluarkan suara yang mirip seperti suara dedaunan yang tertiup angin; peragaan ini adalah peragaan yang harus dilakukan oleh kelompok 1. Narator lalu berjalan ke kelompok 2.]
Kelompok 2 akan menjadi sungai yang mengalir. Bersuaralah seperti air yang sedang mengalir dan gerakkan tangan kalian seperti aliran sungai yang melewati bebatuan. [Selagi kelompok 2 mempratikkan gerakan mereka, beralihlah ke kelompok 3.]
Setiap taman membutuhkan bunga. Beberapa bunga sedang bertumbuh. Coba kalian bilang, `Bong! Bong! Bong!` Lalu rentangkan tangan dan kaki kalian pada saat kalian, bunga-bunga, sedang bertumbuh. [Biarkan kelompok itu mempraktikkannya sambil narator beralih ke kelompok 4.]
Kelompok 4 akan menjadi sekelompok pohon anggur, mari kita coba peragaan kalian. Katakan `oooo` sembari secara perlahan gerakkan tanganmu ke atas seperti daun yang sedang merambat.
Nah, sekarang selama permainan berlangsung, aku akan mengangkat jariku saat aku membutuhkan peragaan dan suara kalian. Satu jari untuk pohon Zaitun, dua jari untuk sungai yang sedang mengalir, tiga jari untuk untuk bunga, dan empat jari untuk pohon anggur. Teruslah bersuara sampai saya menepukkan tangan, sebagai tanda selesai. Mari kita praktikkan dulu. [Peragakan semua gerakan dengan petunjuk-petunjuk Anda sebanyak satu kali untuk setiap kelompok.]
Masuklah Yesus ke taman ini. Dia terlihat sedih dan penuh rasa takut. Dia tidak akan melihat keindahan taman ini dan menghirup aroma wangi dari bunga-bungaan dan pohon di dalamnya karena Dia datang ke sini untuk berdoa. Sekarang kita siap untuk memulai cerita ini."
[Lonceng berbunyi tiga kali sebagai tanda dimulainya drama. Perlahan Narator mengangkat satu jarinya sebagai tanda untuk pohon Zaitun, dua jari untuk sungai yang mengalir, dan yang lainnya sampai semua kelompok memperagakan bagiannya masing-masing. Biarkan beberapa saat sampai narator menepukkan tangannya pertanda mereka harus menghentikan peragaannya.]
Yesus : "Hatiku begitu sedih. Tinggal dan berjaga-jagalah bersama dengan-Ku."
Tikus (1): "Dia berbicara kepada kita?"
Tikus (2): "Aku juga tidak tahu, tetapi lebih baik kita ikuti saja apa yang Dia minta walaupun aku yakin kita pasti lelah."
Tikus (1): [Menguap] Sekarang saja aku sudah ngantuk. Soalnya tadi kekenyangan makan.
[Para tikus memperagakan adegan tidur sambil berpura-pura mendengkur. Biarkan suara dengkuran tikus-tikus ini selama beberapa detik.]
Yesus : [Berbicara dengan suara cukup keras ke arah penonton.] "Kalian tidur? [Tiba-tiba para tikus terbangun kaget dan Yesus berbicara lagi tapi kali ini lebih lembut.] Tidak dapatkah kalian tetap terjaga dan berdoa bersamaku untuk beberapa saat saja? Waktuku akan segera tiba."
[Yesus menundukkan kepala, melipat tangan, dan kembali berdoa.]
Tikus (1): "Dia terlihat begitu sedih."
Tikus (2): "Kira-kira apa ya yang Dia doakan?"
Tikus (1): "Aku juga tidak tahu apa yang Dia doakan sampai-sampai Dia terlihat begitu sedih dan tersiksa."
[Para tikus mencoba untuk tetap terjaga, tetapi mereka menguap dan tertidur kembali. Biarkan adegan tikus tidur ini beberapa detik.]
Yesus : [Berbicara dengan suara keras.] "Bangunlah! Bangun! Anak Manusia akan segera diserahkan ke tangan orang berdosa!"
Tikus (1): "Lihat! Ada kerumunan orang datang dari sana! Wah, mereka pasti datang untuk menyakiti Dia!"
Tikus (2): "Ya ... mereka pasti datang untuk menangkap-Nya!"
Tikus (1): "Ayo cepat kita sembunyi di balik batu ini."
Tikus (2): "Aku kira kemarin Dia berkata bahwa ada sebuah rencana."
Tikus (1): "Harapanku Dia mengetahui rencana itu. Yang Dia dapatkan saat ini hanyalah kesukaran demi kesukaran saja."
[Lonceng berbunyi tiga kali tanda pertunjukkan drama telah selesai.)
Narator : "Yesus tetap memiliki sebuah rencana -- jauh dari situasi yang menegang ini. Sebuah jalan keluar yang bukan untuk Dia saja, tetapi untuk saya dan kalian."
[Tutuplah dengan sebuah pujian yang sudah dipersiapkan sebelumnya kemudian ajak anak-anak untuk berdoa.]
Drama: Di Taman Getsemani
Dia Hidup
Dalam drama pendek ini, Anda memerlukan dua orang yang mengenakan
pakaian pada zaman Alkitab dan dua wanita.
Maria Magdalena: Petrus! Yohanes! Cepat kemari!
Petrus : Ada apa?
Maria Magdalena: Dia hilang. Yesus tidak ada.
Yohanes : Tenang, ayo masuk. Aku akan ambilkan minum.
Petrus : Maria, kita melihat dia meninggal. Kita tahu Dia
meninggal.
Maria Magdalena: Tidak, kamu tidak mengerti.
Yohanes : Tenanglah. Aku tahu kamu sedih. Masuklah dan duduk.
Maria : Tolong dengarkan aku. Kami pergi ke kubur pagi ini
untuk meminyaki tubuh Yesus. Kami khawatir tidak
bisa menggulingkan batu di depan kubur itu.
Maria Magdalena: Tetapi saat kami sampai di sana, tidak hanya
batunya yang tidak ada, tubuh Yesus pun juga tidak
ada.
Petrus : Dan kamu yakin kamu pergi ke tempat yang benar.
Maria : Tentu kami yakin. Kami mengikuti Yusuf saat dia
membawa tubuh Yesus dari kayu salib.
Yohanes : Kamu yakin kuburan itu kosong?
Maria Magdalena: Kami bukan wanita bodoh. Aku mengatakan yang aku
lihat. Yesus sudah tidak ada.
Yohanes : Aku harus melihatnya.
Petrus : Tunggu, Yohanes. Aku ikut denganmu.
(Semuanya keluar. Beberapa saat kemudian Petrus,
Yohanes, dan Maria masuk.)
Petrus : Aku tidak tahu apa yang harus aku percayai. Aku
tidak mengerti ini.
Yohanes : Aku percaya Dia hidup.
Maria : Tetapi Yohanes, bagaimana dia bisa hidup. Kamu
melihat dia mati. Aku melihat Yusuf menempatkan dia
di taman kuburan. Dia meninggal dengan cara yang
sangat hina.
Petrus : Aku tidak pernah bermimpi hal ini bisa terjadi.
Aku pikir Yesus akan menyelamatkan kita dari
orang-orang Roma.
Maria : Aku juga berpikiran begitu. Aku memandang Yesus
sebagai raja baru kita. Ingat, aku pernah meminta
supaya kedua anakku dijadikan tangan kanan-Nya dan
sekarang lihat apa yang terjadi pada-Nya. Aku tidak
percaya ini semua telah terjadi.
Maria Magdalena: (Berteriak) Aku melihat Dia. Aku melihat Yesus.
Dia hidup.
Yohanes : Aku tahu itu.
Petrus : Tenang dan katakan apa yang terjadi.
Maria Magdalena: Saat kamu pergi, aku kembali ke kubur itu, tetapi
saat aku melihat ke dalam, aku melihat dua
malaikat. Mereka sangat cantik.
Yohanes : Dan di mana kamu melihat Yesus?
Maria Magdalena: Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat seorang
pria. Aku kira dia seorang tukang kebun. Lalu aku
minta dia katakan di mana dia meletakkan Yesus.
Petrus : Jadi, tukang kebun itu memindahkan Yesus ke
kuburan lain. Aku tahu pastinya begitu.
Maria Magdalena: Dia menyebut namaku.
Maria : Tukang kebun itu mengenalmu?
Maria Magdalena: Tidak, dia bukan tukang kebun. Dia adalah Yesus.
Petrus : Aku tahu engkau sangat dekat dengan Yesus. Kamu
benar-benar mengasihi Yesus. Maksudku karena Yesus
telah melakukan sesuatu kepadamu. Tetapi Yesus
sudah meninggal.
Maria Magdalena: Dia memanggil namaku. Aku tahu dia adalah Yesus,
tak ada yang memanggilku seperti Yesus memanggilku.
Aku ingin memeluk Dia dan tidak akan melepaskannya,
namun Dia malah mengutusku untuk mengatakan hal ini
kepada kamu. Yesus telah hidup. Aku melihat Dia.
Dia hidup. (t/Ratri)
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Let Us Teach Kids
Judul asli artikel: He`s Alive
Kubur yang Kosong
Pemain:
Prajurit Roma 1, Prajurit Roma 2, Maria, Maria Magdalena, Yohana,
Malaikat, Yesus, Yohanes, Petrus.
Peralatan:
1. Pakaian.
2. Kubur (dapat dibuat dari kayu dan ditutup dengan kain supaya
terlihat seperti batu, dapat berupa sebuah tenda (dome) yang
ditutup dengan kain abu-abu, atau dapat juga lorong buntu yang
ditempatkan di panggung).
3. Pintu yang dibuat seperti pintu batu.
4. Pelbet yang ditutup dengan kain putih.
5. Jubah putih dengan kerudung untuk Yesus.
6. Lampu yang terang di dalam kubur.
7. Tombak dan perapian untuk para prajurit (jika ada).
8. Efek suara batu digeser.
9. Tiga jambangan atau kotak tempat rempah-rempah untuk orang mati.
Dekorasi:
Kubur dengan perapian di depannya. Akan lebih baik jika adegan
didukung dengan pencahayaan yang redup. "Kubur yang Kosong" paling
efektif jika dimainkan pada awal kebaktian segera setelah pujian.
Skenario:
[Prajurit 1 dan 2 masuk. Prajurit 1 duduk di dekat perapian;
prajurit 2 berjalan mondar-mandir.]
Prajurit 1 : Apa yang kita kerjakan di sini? Masa kita harus menjaga kuburan orang mati? Siapa juga Dia ini sebenarnya?
Prajurit 2 : Dia seorang tukang kayu dari Nazaret, tapi banyak orang yang percaya bahwa Dia lebih dari itu. Ada legenda yang dipercayai bangsa ini bahwa Raja dari segala raja akan dilahirkan di sebuah kota kecil yang bernama Betlehem, di dekat daerah ini. Mereka akan memanggil Raja ini Kristus. Banyak orang yang percaya bahwa orang dari Nazaret ini adalah Kristus yang dijanjikan itu.
Prajurit 1 : Hmm, Dia sekarang adalah Raja yang sudah mati dan kuburan-Nya ini adalah kerajaan-Nya. Bagaimana kamu tahu semua itu?
Prajurit 2 : [mengangkat bahu dan berpura-pura tidak tertarik sambil menjelaskan dengan berjalan mondar-mandir lagi] Kepercayaan orang-orang di sini menarik juga. Dan ... aku melihat Dia mati. Ada tulisan di salib-Nya. Tulisan itu bunyinya Raja orang Yahudi. Ada juga gempa bumi, tidak seperti biasanya ....
Prajurit 1 : O, ya? Kalau memang Dia raja, Dia sekarang sudah mati. Apa yang bisa Dia lakukan?
Prajurit 2 : [berhenti berjalan dan berbicara menghadap jemaat] Dia menyembuhkan orang buta, tuli, dan lumpuh. Dia mengusir roh jahat dan membangkitkan orang mati.
Prajurit 1 : Kamu tidak percaya itu semua, kan?
Prajurit 2 : [berjalan lagi] Aku tidak tahu. Aku dengar Dia mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Dia akan mati dan akan bangkit lagi pada hari yang ketiga.
Prajurit 1 : Tak seorang pun akan keluar dari kubur batu itu.
Prajurit 2 : Bagaimana jika para pengikut-Nya mencoba untuk mencuri mayat-Nya dan kemudian mengatakan bahwa Dia telah menepati janji-Nya?
Prajurit 1 : Kita ini prajurit. Kita punya tombak. Kita bisa mengatasi masalah seperti itu. Sekarang, aku mau tidur dulu sebentar. Kamu yang menjaga batu itu kalau memang kamu begitu khawatir tentangnya. [menyandarkan kepalanya ke lutut lalu tidur]
[Terdengar suara batu digeser ketika muncul cahaya yang terang dari
dalam kubur dan malaikat menggeser batu penutup kubur itu tanpa
terlihat.]
Prajurit 2 : [membangunkan Prajurit 1] Batu itu bergeser!
Prajurit 1 : [berjalan mendekati kubur] Mayat itu hilang! Ada
di mana mayat itu?
Prajurit 2 : Aku tidak tahu! Aku tidak melihat apa-apa!
Prajurit 1 : Lebih baik kita laporkan saja kejadian ini! Ayo!
[Para prajurit lari keluar dan meninggalkan tombak mereka. Kuburan
menjadi sunyi dan perlahan cahaya diatur lebih terang. Yohana,
Maria, dan Maria Magdalena masuk membawa rempah-rempah untuk
mengurapi orang mati.]
Yohana : Aku senang matahari sudah terbit. Lebih mudah
melihat jalan setapak ini. Aku yakin prajurit yang
disuruh menjaga kubur itu akan menghadang kita di
sini.
Maria : Mereka tidak punya alasan untuk menghadang kita.
Kita harus meminyaki tubuh Guru kita dengan baik.
Apakah menurutmu kita bisa membujuk para prajurit
itu untuk menggeser batu itu untuk kita?
Maria Magdalena : Ah, prajurit Roma! Sepertinya tidak. Kita harus
meminta tolong pada orang lain.
Yohana : [nampak terkejut dan menjatuhkan kotak rempah-
rempah] Lihat! Batu itu sudah bergeser!
[Ketiga wanita itu bergegas menuju kubur itu dan melihat ke
dalamnya.]
Malaikat : [muncul] Jangan takut. Aku tahu kalian mencari
Yesus yang disalibkan itu. Dia tidak ada di sini.
Dia sudah bangkit dari kematian seperti yang
dikatakan-Nya kepada kalian. Pergilah dan
katakanlah kepada murid-murid-Nya bahwa Ia telah
bangkit!
[Maria dan Yohana segera keluar, Maria Magdalena tetap tinggal di
situ sambil menangis. Yesus masuk.]
Yesus : Ibu, mengapa engkau menangis?
Maria Magdalena : Mereka sudah mengambil Tuhanku dan aku tidak tahu
ke mana mereka membawa-Nya.
Yesus : Siapa yang engkau cari?
Maria Magdalena : [melihat Dia untuk yang pertama kalinya] Apakah
Engkau penunggu taman? Apakah Engkau yang mengambil
Tuhanku itu? Tuan, katakanlah di mana Dia sekarang
dan aku akan pergi mencari-Nya.
Yesus : Maria, apakah Engkau tidak mengenali Aku?
Maria Magdalena : [berlutut dan berniat memegang Dia] Rabuni!
Yesus : Janganlah engkau memegang Aku, Maria, sebab Aku
belum pergi kepada Bapa. Pergilah dan katakan
kepada saudara-saudara-Ku bahwa Aku akan kembali
kepada Bapa-Ku.
[Maria Magdalena segera keluar; Yesus diikuti oleh Malaikat keluar
melalui arah yang berlawanan lebih perlahan-lahan. Yohanes, kemudian
Petrus dan Maria Magdalena masuk.]
Yohanes : [berlutut di luar kubur] Dia tidak ada di tempat
kami meletakkan Dia.
Petrus : [masuk ke dalam kubur dan menyentuh kain kafan]
Dia sudah bangkit! Sekarang aku tahu. Kuasa-Nya
lebih besar dari para raja yang ada; Dia telah
mengalahkan maut!
[Mereka bertiga berdiri dan berkata satu kepada yang lain dan kepada
jemaat: "Kristus telah bangkit! Tuhan Yesus Kristus telah bangkit
hari ini!" Keluar melalui tiga arah yang berbeda jika memungkinkan.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar