Rabu, 07 Juli 2010

cerpen

Cerpen

BUNG KOES


Pagi masih belia. Selain matahari belum tampak di ufuk timur, hari itu memang masih terasa pagi ketika sebagian warga dusun Kapok menyadari bahwa ternyata hari – hari hidup mereka memang selalu saja tetap terasa pagi. Bagai petir menyambar di siang bolong, seluruh warga dusun Kapok, kelurahan Suka Maju dikejutkan dengan peraturan yang dikeluarkan oleh pak lurah. Betapa tidak, katanya untuk mendukung stabilitas keamanan dan keharmonisan di seluruh wilayah kelurahan Suka Maju, pak lurah mengeluarkan sebuah peraturan yang melarang warganya mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan.
* * *
Waktu terus saja berlalu. Usia dusun Kapok juga terus bertambah, namun setiap hari yang dilalui selalu saja tetap terasa pagi. Sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah kelurahan, pagi itu Bung Koes selaku kepala wilayah di dusun Kapok hendak mengadakan sosialisasi tentang peraturan tersebut kepada seluruh masyarakatnya. Selain sebagai kepala dusun, Bung Koes di wilayah dusun Kapok dikenal warganya sebagai seorang tokoh yang taat hukum dan pemerintahan serta senantiasa loyal terhadap perintah atasannya. Itulah sebabnya untuk kegiatan sosialisasi di pagi itu, Bung koes sungguh tidak mengalami kesulitan, baik secara teknis maupun secara mekanis. Sejak beberapa hari yang lalu, melalui corong suara ia telah menyampaikan kepada seluruh warganya tentang kegiatan sosialisasi di pagi itu. Selain itu, dengan menggunakan mesin ketik tua setua usia dusun Kapok, Bung Koes telah mengeluarkan surat edaran kepada semua ketua TR, RW dan juga kepada seluruh warganya untuk mohon turut berpartisipasi mendukung keberhasilan kegiatan sosialisasi tersebut, sebagai bentuk dukungan terhadap program pemerintah yang sedang berjalan.
* * *
Waktu terus berlalu namun setiap hari yang dilalui warga dusun Kapok tetap saja terasa pagi. Tepat pukul 07.30, seluruh warga dusun Kapok telah memadati rungan Balai dusun Kapok dan langsung menempati posisi pada tempat duduk yang sudah ditentukan para pengatur ruangan. Kegiatan sosialisasi segera dimulai. Bertindak selaku penguasa di wilayah dusun Kapok dan sebagai pembicara tunggal, Bung Koes dengan memohon rakhmat Allah Yang Maha Kuasa, membuka dengan resmi kegiatan sosialisasi tersebut dengan mengetuk palu tiga kali.
Kegiatan sosialisasi sudah berjalan. Selama mendengarkan penjelasan dari Bung Koes, sebagai warga negara yang taat hukum dan pemerintahan, seluruh warga dusun Kapok mengangguk-angguk penuh pengertian tanpa sedikitpun menunjukkan sikap protes.
Meski demikian di dalam hati mereka berkecamuk segala macam perasaan tidak puas. Mereka sebenarnya ingin protes dan mengungkapkan sejumlah kegalauan karena dilanda kebingungan.
Bagi warga masyarakat yang tidak harus bingung, menjadi bingung karena melihat sesama warga yang menampakkan kebingungannya. Mereka menjadi binggung karena membayangkan peraturan pak Lurah yang satu ini memang sangat sulit untuk ditaati, meski tak ada niat atau maksud untuk melanggarnya. Mereka menjadi bingung karena sebagai manusia, mereka menyadari bahwa perihal mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan adalah hal wajar, ketika realitas kehidupan dunia memang memungkinkan manusia harus mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan. Selain itu, mereka menyadari bahwa suara manusia dalam bentuk tangisan juga secara kodrati mengingatkan sesamanya sebagai ungkapan rasa kesal dari dalam diri seorang anak manusia. Tetapi yang lebih membingungkan warga yang bingung adalah mereka melihat raut muka Bung Koes tidak sedikitpun menampakkan kebingungannya, pada hal selain sebagai kepala dusun, Bung Koes juga adalah seorang anak manusia yang memiliki hati nurani dan perasaan yang sama dengan warganya.
Ketika hendak menutup kegiatan sosialisasi tersebut, meski sedang berusaha menyembunyikan kebingungannya di hadapan warga, sekali lagi Bung Koes kembali menegaskan, “ Sama seperti peraturan-peraturan terdahulu, peraturan pak lurah kali ini juga tidak bersifat diskriminatif, yakni tidak memandang suku, agama, ras dan antargolongan. Aturan ini berlaku untuk seluruh warga kelurahan Suka Maju, yang memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan tanpa kecuali.” Karena itu lanjut Bung Koes, “ Barang siapa yang melanggarnya akan ditindak tegas dan proses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kepadanya akan diberikan hukuman paling maksimal sepuluh tahun penjara atau denda uang sekurang-kurangnya seratus juta rupiah.”
Kegiatan sosialisasi sudah berakhir. Hari-hari kehidupan Bung Koes bersama seluruh warganya di dusun Kapok selalu diliputi kebingungan. Meski demikian seluruh warga tetap saja tidak mengetahui kalau Bung Koes juga sedang dilanda kebingunan. Bung Koes memang pantas harus bingung karena sebagai aparat pemerintahan yang selama ini hidup di sekitar warganya, Bung Koes mengenal warganya dan mengetahui seluruh situasi kehidupan mereka. Secara garis besar, seluruh warganya hidup di bawah standar garis kemiskinan. Banyak di antara mereka yang sehari hanya makan dua kali. Bukan seperti para pejabat kelurahan yang setiap hari selalu menikmati menu empat sehat lima sempurna yang dilengkapi enam sangat sempurna. Sehingga membayangkan uang seratus juta sebagai denda pelanggaran terhadap peraturan pak Lurah adalah sesuatu hal yang sudah pasti amat sulit dijangkau oleh warganya. Apalagi hukuman sepuluh tahun penjara, rasanya Bung Koes tidak tega melihat warganya yang sebagian besar berbadan kurus seperti sapu lidi karena kurang gizi dan harus menanggung penderitaan di balik jeruji besi. Itu berarti kehidupan warganya seperti sudah jatuh kemudian langsung ditimpa tangga.
* * *
Kebingungan Bung Koes terus bertambah. Lebih memuncak ketika membayangkan kemungkinan akan ada warganya yang melanggar peraturan pak Lurah. Betapa tidak, Bung Koes mengetahui bahwa dari sekian banyak warganya yang sudah tua renta, ada warga yang masih berusia remaja sampai dengan nol tahun. Sebenarnya hal inilah yang sangat diresahkan Bung Koes. Karena sangat kecil kemungkinan warganya yang berusia nol sampai lima tahun tidak mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan.
Selain itu yang lebih meresahkan Bung Koes adalah dari sekian banyak warganya, diantaranya ada yang memiliki hobby atau kesukaan mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan atau orang-orang di sekitar mereka menyebutnya dengan manusia melenium. Menurut pengakuan beberapa warga disekitarnya, orang-orang ini sejak kecil bahkan semenjak dilahirkan oleh ibunya mereka sudah memiliki bakat atau hobby mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan. Katanya mereka menangis karena memang mereka harus menangis. Mereka menangis karena mereka menemukan kehidupan dunia tidak seperti yang mereka harapkan.
Tetapi ketika mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan, suara tangisan mereka memang berbeda dengan suara tangisan orang yang menangis sembarangan. Karena suara tangisan orang-orang ini, lebih memprioritaskan irama protes, lebih keras dan setiap kali mereka menangis suara tangisan mereka bisa membuat merah telinga Bung Koes. Dari warga disekelingnya pula, Bung Koes mengetahui bahwa kekhasan suara tangisan mereka senantiasa diperlihatkan karena memang selain memiliki bakat atau hobby menangis, mereka juga sudah belajar khusus bagaimana mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan, semenjak mereka menyadari bahwa suara tangisan mereka memang sangat dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan banyak orang.
Ada beberapa warga berpendapat, sebagian besar dusun Kapok mengagumi kekhasan suara tangisan manusia-manusia milenium ini. Karena meskipun mereka telah berusia dewasa, bahkan menginjak usia tua, suara tangisan mereka masih kedengaran jernih dan tetap bersih seperti suara tangisan seorang bayi. Ini yang membedakannya dengan suara tangisan orang yang menangis sembarangan. Orang yang menangis sembarangan, katanya mereka mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan karena hanya ikut-ikutan menangis , atau yang lebih lucunya, mereka menangis supaya bisa disedekahi.

Satu bulan berlalu sudah. Kebingunan seluruh warga dusun Kapok dan Bung Koes belum meredah. Karena sesuai dengan informasi dari beberapa warga, dalam rentang waktu selama satu bulan semenjak diberlakukan aturan tersebut, banyak dari sekian warganya ada yang mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan. Kendati demikian Bung Koes masih bisa terhibur karena tidak mungkin warganya yang baru berusia nol sampai dengan enambelas tahun dikenai jeratan hukum. Hanya saja bagaimana dengan nasib warga yang berusia di atas enambelas tahun yang memiliki hobby menangis atau yang biasa disebut dengan manusia milenium itu. Sepertinya Bung Koes belum sanggup memberikan jawaban.
Sebagai pemimpin yang bernurani kemanusiaan, Bung Koes pantas bingung dan merenungkan nasib warganya. Ia sebenarnya menginginkan suara tangisan mereka, karena suara tangisan mereka mengingatkan Bung Koes tentang hal penting yang tidak beres atau ada masalah yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Sehingga Bung Koes menyadari bahwa suara tangisan mereka, sesungguhnya pantas diperdengarkan dan harus dipelihara supaya jangan sampai dikotori oleh suara tangisan orang yang menangis sembarangan atau jangan sampai punah.
Anggapan Bung Koes ini kemudian diperkuat oleh pengakuan beberapa warganya, bahwa kebeningan hati nurani orang-orang seperti ini dapat dibuktikan kebenarannya. Katanya, ketika mereka menangis dan berdiri dihadapan cermin bayangan yang muncul saat itu adalah, gambaran manusia lengkap tanpa cacat, matanya bersinar seperti pelangi yang hanya sanggup menangis dengan suara yang tidak kedengaran. Pada saat sedang menangis, sebentar-sebentar mereka harus berhenti dan nampaknya sedang memikirkan sesuatu yang ingin ia perjuangkan, setelah itu barulah ia mulai menangis lagi.
Di dalam cermin itu terlihat jelas mereka menangisi nasibnya dan juga nasib sesama warga di kampungnya, karena kehidupan mereka dikelilingi banyak pencuri yang berkeliaran. Banyak harta benda penduduk yang menjadi korban jarahan. Komplotan pencuri itu selalu memainkan aksinya ketika perkampungan nampak sepi dan penduduk sedang tertidur lelep. Anehnya ketika penduduk terbangun dari tidur dan hendak menghalau para pencuri keluar dari kampung, dengan jurus-jurus maut yang lincah nan taktis, komplotan pencuri mengepung para penduduk sehingga satu demi satu dilumpuhkan dan akhirnya jatuh berguguran ke tanah.
Sedangkan tentang orang yang menangis sembarangan, ketika berdiri di hadapan cermin, gambar yang muncul adalah gambaran manusia mirip patung berongga dengan mulut komat-kamit sembarangan. Ketika sedang menangis berkali-kali mulutnya menganga seperti minta disedekahi, sementara jari tangannya membelai-belai bukit

perutnya dan melalui lubang duburnya mengeluarkan kepulan asap tebal berwarna hitam pekat yang hanya menggangu keindahan pemandangan disekelilingnya.
Setelah mendengar cerita itu. Bung Koes semakin gelisah memikirkan hal-hal yang selama ini disimpannya dengan rapi dalam hatinya ternyata diketahui oleh warganya. Tapi sebagai makhluk yang memiliki nurani kemanusiaan Bung Koes sebetulnya menginginkan suara tangisan warganya yang memiliki hobby atau pembawaan semenjak dilahirkan ini. Karena selain suara tangisan mereka memperdengarkan ketulusan dan kemurnian hati seorang anak manusia, suara mereka mengandung pengertian ada hal yang mengganggu kehidupan dan kepentingan orang banyak.
Tetapi ketika Bung Koes baru saja menyadari dirinya sebagai pemerintah, Bung Koes menilai bahwa suara tangisan orang-orang yang memiliki hobby mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan, tidak pantas diperdengarkan pada zaman ini. Suara tangisan yang demikian menurutnya lebih cocok diperdengarkan pada zaman kuno. Katanya, kini kita sudah masuk pada era paling mutakir serba canggih. Segala sesuatu yang kita inginkan bisa kita sulap dalam rentang waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebagai pejabat pemerintah, Bung Koes memandang suara tangisan seperti ini, dapat mengancam kedudukan jabatannya. Karena bukan hal mustahil, jika Bung Koes sampai gagal mengendalikan stabilitas keamanan di wilayah dusun Kapok, jabatannya sebagai kepala pemerintahan di wilayah itu bisa dialihkan kepada orang lain dengan alasan klasik yang lebih mampu.
Namun Ketika Bung Koes sedang larut dalam lamunannya yang membingungkan, ia mendapat berita melalui hand phone dari anaknya yang sedang kuliah di universitas paling bergensi di sebuah kota metropolitan, bahwa melalui nomor rekening banknya ia mendapat pengiriman sejumlah uang. Mendengar berita itu, Bung Koes tersentak kaget. Namun lamunanya segera diusik oleh ingatannya, kalau pada suatu kesempatan yang tak disadari ketika sedang berdiskusi, pak lurah pernah menanyakan nomor rekening anaknya yang sedang kuliah di kota metropolitan itu. Pada saat itu, Bung Koes mengaku sempat kaget dan bertanya dalam hatinya, apa maksud pertanyaan pak lurah itu. Melihat wajah luguh yang hampir tak berdaya mempertahankan kebeningan hati nurani kemanusiaannya, pak lurah mengatakan “ Nanti juga engkau akan paham Bung Koes. Kini kita sudah masuk pada zaman serba canggih. Jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan keberutungan kita, bisa datang seketika tanpa harus kita bayangkan terlebih dahulu. Apa bentuknya, berapa besarnya, dan dari mana asalnya bukanlah persoalan yang harus kita pikirkan. Tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana caranya agar kita bisa mendapatkan kepuasan,” kata pak Lurah dalam nada datar penuh percaya diri untuk menjawab kebinggungan Bung Koes.



Lamunan panjang Bung Koes kala itu terusik ketika anaknya Abas yang masih duduk di bangku kelas enam SD berlari-lari kecil menuju Bung Koes sambil berteriak,”Pak……..pak……..koran……..pak.” Kedatangan anaknya dengan membawa satu eksemplar koran, disambutnya dengan wajah berseri. Secepat kilat Bung Koes meraih koran dari tangan anaknya itu. Tetapi betapa kagetnya Bung Koes ketika membaca Head Line pada harian umum yang terbit di hari itu bahwa empat orang warga dusun Kapok ditangkap sekelompok Polisi Pamong Praja karena kedapatan sedang mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan. Melalui koran tersebut pula diberitakan bahwa, aksi itu dipertontonkan warganya ketika menyaksikan jalannya persidangan kasus sahabat mereka yang juga memiliki hobby menangis, yang dihadapkan ke sidang pengadilan sebagai terdakwa karena melanggar peraturan pak lurah. Katanya, teman mereka itu kedapatan mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan khas orang suka protes, sebab ada sejumlah kebijakan pak Lurah yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat miskin, sehingga dinilai oleh teman mereka sebagai bentuk praktek KKN, demikian tutur koran tersebut.
Setelah membaca berita tersebut, pikiran Bung Koes semakin tidak menentu. Ia selalu memikirkan keselamatan jabatannya yang selama ini ia perjuangakan dengan kekuatan cari muka dan kerjasama yang begitu apik dengan pihak atasannya. Selain itu, ia juga memikirkan nasib warganya yang berdasarkan ukuran hati nurani kemanusiaan, mereka bisa disebut orang benar yang menyuarakan kebenaran yang berarti benar yang harus dipertahankan kebenarannya.Kebenaran seperti ini adalah kebenaran yang sanggup menembus seluruh dimensi kehidupan umat manusia, ketika kebenaran itu harus diuji dengan keluhuran martabat manusia. Berbeda dengan kebenaran yang berdasarkan hukum rakitan otak manusia. Karena kebenaran seperti ini, cenderung melemah pada sisi tertentu dalam praktek kehidupan manusia yang senantiasa menampakan keanehannya. Dapat dikatakan aneh kerena, kebenaran yang sama mengacu pada aturan yang sama, suatu ketika bisa berubah menjadi sesuatu yang salah ketika proses pembuktian kebenaran tersebut bergeser pada acuan siapa kuat dialah yang keluar sebagai pemenang pembawa kebenaran. Demikian kata hati nurani kemanusiaan Bung Koes dalam permenungan panjangnya.
Ketika kegalauan perasaannya semakin memuncak karena seluruh sisi kehidupannya dilanda kebingungan, Bung Koes tetap tidak akan lupa bahwa dirinya adalah seorang pejabat pemerintah. Di balik kebeningan hati nurani kemanusiaannya yang ingin menyuarakan arti kebenaran yang adalah hal penting menurut ukuran kemanusiaannya, tapi baginya yang lebih penting dari itu adalah bagaimana ia berusaha



untuk mempertahankan kepercayaan yang selama ini dibangun dengan menghalalkan segala cara untuk bisa menikmati kepuasan bersama pak lurah. Kendati demikian Bung Koes tetap tidak bisa membohongi nuraninya bahwa, keputusan yang ia ambil untuk mengorbankan kebenaran yang berarti benar dan memihak pada kebenaran yang berarti salah yang bisa disulap menjadi sebuah kebenaran merupakan keputusan yang tidak manusiawi. Tetapi bagaimana ia ikut membuktikan bahwa warganya ternyata tidak bersalah, sebagai bawahan yang senantiasa loyal terhadap atasannya, Bung Koes memang tak berdaya. Karena jika tidak demikian, maka Bung Koes bisa dinilai berkianat pada atasannya yang selama ini memeliharanya. Apalagi perutnya yang kini kian hari bertambah buncit karena sering menikmati makanan yang enak bersama pak Lurah setiap kali ada kesempatan. Itu yang membaut Bung Koes tidak ada pilihan lain selain mengabdi kepada atasannya dan mengorbankan warganya.





Waiwerang, 27 Mei 2006


Ambrosius Beda Niron, S.Pd

Guru SMAN 1 Adonara Timur
Jln. Taman Siswa – Waiwerang
Flores Timur – NTT – 86261
HP. 081 339 126 693

Tidak ada komentar:

Posting Komentar