Rabu, 07 Juli 2010

artikel "MENJAWABI PANGGILAN LEWO TANA

MENJAWAB PANGGILAN LEWO TANA
Artikel Yosni Herin

Dewasa ini sudah cukup banyak karya tulis yang mendokumentasikan sejarah dan kebudayaan masyarakat Lamaholot, sebuah istilah untuk menyebut kelompok masyarakat yang mendiami daratan Pulau Flores bagian timur dan beberapa pulau kecil di sekitarnya (Solor, Adonara dan Lembata). Tetapi, karya tulis yang secara khusus mendokumentasikan sejarah dan kebudayaan Pulau Solor, kiranya belum terlalu banyak. Lebih sedikit lagi, atau bahkanhampir tidak ada karya tulis yang mengangkat sejarah dan budaya pada tingkatan yang sangat lokal (dusun atau desa).
Berangkat dari keprihatinan tersebut, Jacob J. Herin salah satu putra Solor kelahiran Desa Lewotanaole, Solor Baratyang selama ini mendedikasikan diri di dunia jurnalistik menulis buku mungil ini. Buku ini tidak mengangkat kisah sejarah dan budaya pada skala yang luas—dalam arti mencakup seluruh entitas yang disebut Lamaholot. Buku ini pun tidak membicarakan sejarah dan budaya Pulau Solor. Buku ini ’hanya’ berkisah tentang masyarakat di dua dusun terpencil di Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur yaitu Dusun Lamaku dan Lamaole yang nyaris tidak dikenal pihak luar.
Dalam Kata Pengantar, Jacob J. Herin menulis, ”Buku ini ditulis untuk para pembaca generasi muda yang tertarik pada kebudayaan asli khususnya kebudayaan asli Suku Lamaku dan Lamaole di Pulau Solor yang selama ini hampir tidak dikenal orang” (Halaman 7). Herin tidak bermimpi terlalu tinggi tentang kampung halamannya. Dia hanya ingin agar generasi muda dapat mengenal sebuah entitas budaya yang jauh dari pusaran peradaban dunia dan yang hingga masih memeluk teguh adat istiadat asli di tengah arus kuat modernisme dan globalisme.
Kendati demikian, Herin tidak mati-matian mempertahankan tradisionalisme. Ia malah menuntut saudara-saudaranya di kampung agar bersikap positif terhadap berbagai penetrasi budaya dari luar. Hal ini bukan lantaran budaya asli sudah tidak mampu menjawab berbagai tantangan baru yang datang secara bertubi-tubi. Sikap positif ini lebih dilihat sebagai peluang menuju transformasi budaya.
Anak kampung yang sudah melanglang buana ke berbagai daerah ini menyadari bahwa ada tegangan luar biasa antara tradisionalisme di satu pihak dan modernisme di lain pihak. Jika masyarakat tidak cukup arif menyiasati perkembangan yang ada, maka hanya ada dua pilihan: masyarakat lokal akan terlempar dari derap kemajuan dan tetap tinggal sebagai masyarakat tradisional (yang miskin dan terkebelakang) atau terseret dalam gelegar modernisasi dengan konsekuensi kehilangan jati diri karena tercerabut dari sejarah dan akar budayanya sendiri.
Karena itu, Herin menandaskan ”Kebudayaan lokal di Pulau Solor khususnya kebudayaan Suku Lamaku dan Lamaole di Desa Lewotanaole dituntut bersikap positif terhadap transformasi budaya, artinya perubahan budaya menuju suatu kehidupan yang lebih baik, yang lebih bernilai tanpa adanya rasa rendah diri dan tanpa rasa takut terhadap pengaruh nasional maupun global” (Halaman 11).
***
Judul buku ini, ”Lewo Mayen Tana Doen” jika diterjemahkan secara bebas artinya panggilan kampung halaman atau panggilan ’lewotana’ (istilah khas masyarakat Lamaholot untuk menyebut kampung halaman). Judul ini diambil dari sebaris syair dalam sastra adat Lamaholot (Koda Kelake) yang dituturkan seorang tua adat pada momen penerimaan imam baru di kampung Lamaole pada 19 Juli 2002 (Halaman 30 – 31). Koda kelake khususnya mitos tentang asal-usul (tutu maring usu-asa) seperti contoh yang diangkat Herin mempunyai tempat sentral dalam budaya Lamaholot karena memberi legitimasi magis tentang asal-usul dan hirarki kekuasaan suku-suku atas lewotana dan nura newa (tanah ulayat).
Syair ini ditempatkan dalam bahasan tentang Rumah Adat. Dalam budaya Lamaholot, rumah adat atau korke/koke adalah tempat upacara atau ritus, juga acap kali digunakan sebagai tempat pertemuan adat. Fungsinya sangat penting sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan wujud tertinggi yang disebut Ama Lera Wulan, Ina Tana Ekan (Bapa Matahari-Rembulan, Ibu Bumi) atau dalam dialek Lamaole/Lamaku Lera Wulen Tana Eken. Selain itu, simbol yang cukup penting dalam budaya Lamaholot adalah nuba nara (batu pemujaan) dannamang atau nama (tempat menari).
Contoh mitos asal-usul juga dikisahkan secara khusus pada topik tentang Legenda (Halaman 19 – 27). Di sana Herin mencatat kisah asal-usul Suku Ole dan Suku Gapun. Disebutkan, kedua suku ini merupakan tuan tanah. Pasalnya, Suku Ole itu deka teti lodo (jatuh dari langit) sedangkan Suku Gapun itu bego lali tana one gere (muncul dari dalam tanah). Sayangnya, mitos asal-usul Suku Ole dan Suku Gapun ini tidak dikisahkan dalam bentuk syair sastra.
***
Buku ini nampaknya merupakan himpunan catatan-catatan lepas Jacob J. Herin dalam rentang waktu yang cukup lama. 19 topik yang disajikan secara ringkas dalam buku inimerupakan hasil wawancara dengan sejumlah narasumber (sebagian besar telah almarhum saat buku ini diterbitkan) maupun hasil pengamatan dan refleksinya atas berbagai fenomena sosio-kultural yang terjadi di tanah kelahirannya.
Melalui buku kecil ini, Jacob J. Herin berusaha membawa pembaca untuk mengenal dari dekat berbagai aspek dan dimensi kehidupan masyarakat Dusun Lamaku dan Lamaole. Herin berupaya sekuat tenaga menjadi pengantar yang baik bagi pembaca untuk mengenal panorama budaya kampung halamannya sambil sesekali menyentak pembaca dengan catatan kritis dan reflektif atas gejala sosio-kultural yang muncul.
Cukup menarik bahwa Jacob J. Herin mulai ’memanggungkan’ kisah kampung halamannya ini dibawah topik kebudayaan dan mengakirinya dengan sebuah upaya rekonstruksi jejak para leluhur sampai ke negeri Cina dan India Belakang.
Dalam sastra lisan di beberapa kampung lain, para penutur mengisahkan asal-usul mereka nun jauh di sebelah barat.
Doan bo lau Sina koto klopot (Jauh di Cina kepala gundul)
Lela bo lau Son gei gole (Nun di Son cukur keliling)
Mereka terpaksa berlayar mencari kehidupan ke wilayah timur lantaran musibah air bah yang menenggelamkan negeri mereka.
Pukenen ma’E ta’E go iti lei lodo pana
Pukenen mora bora go plilin lima wajon gawe
Go odo tena koon watan lau
Go gehan laja koon ai lali
(Lantaran banjir bandang saya bergegas jalan
Lantaran air bah saya singsing lengan mengayun langkah
Saya dorong perahu ke arah laut selatan
Saya tarik layar ke arah bawah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar